Restoran di sisi kiri Elephant Safari Park & Lodge itu terlihat wah dalam balutan ornamen tradisional yang bersahaja. Pencahayaannya dibiarkan temaram, meja-meja bundar bertaplak putih disusun cukup berjarak dengan empat bangku kayu jati.
Saat menginjakkan kaki di dalamnya, terang matahari sudah digantikan dengan cahaya lampu di sepanjang jalan setapak menuju tempat makan. Kedua kaki sudah terasa letih dan perut ini minta segera diisi ulang.
Harusnya, hari itu saya bisa menikmati sensasi makan malam di alam terbuka bersama gajah Sumatera—dalam arti benar-benar ada gajah di samping meja makan. Tapi karena cuaca kurang mendukung, akhirnya acara santap malam digeser ke restoran yang masih berada di dalam taman gajah.
“Padahal tadi kita sudah siapkan mejanya di sini,” kata Park Manager Ketut Nursyarifah saat menyambut kedatangan saya di dalam taman.
Menurut Ketut, acara makan malam ditemani gajah merupakan salah satu kegiatan favorit pengunjung Elephant Safari Park. Santap malam biasanya diadakan setelah pengunjung puas naik gajah, lihat pertunjukan gajah, dan memberi makan gajah.
Saya pun melakoni keseruan Sabtu (9/1) siang itu dengan itinerary yang sama. Hanya saja, karena semesta kurang mendukung, acara makan malam digeser ke dalam restoran yang masih berada di dalam komplek taman gajah.
Sambil menunggu pelayan menyuguhkan menu pembuka Duck Confit Salad, kami saya menanyakan keistimewaan yang ada di kawasan gajah yang luas ini, termasuk soal hiburan yang disuguhkan ke pengunjung.
“Dalam waktu dekat, ada rencana menghadirkan Tulus dan lagu Gajah-nya gak, Bu?” Tanya saya.
jawabnya sambil menatap ke depan, ke hamparan taman rumput terbuka yang diselingi dengan pohon-pohon palm dan sawit berukuran sedang, tempat para gajah bermain, makan dan membawa para tamu berkeliling.
Saya mengikuti titik pandangan wanita kelahiran Bali itu sambil samar-samar melihat gajah tertua bernama Fitri yang umurnya sudah lebih dari 52 tahun. “Makanya di sini tidak ada pentas musik. Di sini yang ditawarkan adalah alam dan gajah-gajah di dalamnya,” lanjut Ketut.
Alam Gajah
Pesona gajah dan alam memang jadi daya tarik utama taman gajah yang berlokasi di Taro, Ubud, Bali, ini. Meski tanpa alunan musik, santap malam itu terasa istimewa karena ada banyak gajah yang menemani saya dan beberapa tamu asing lainnya. Malam itu nyaris tidak ada wisatawan domestik yang terlihat.
Hidangannya pun sangat lezat, dengan menu utama Wild Fire Beef Tenderloin yang diisi dengan daging olahan dan disiram saus krim lada hitam, ditambah kentang, sayuran dan buah ceri yang dipanggang.
Saya tiba di Elephant Safari Park & Lodge jam setengah enam sore, setelah sebelumnya menikmati keseruan rafting di sungai Ayung sejauh sembilan kilometer. Di pintu loket, saya mendapatkan dua tiket dari petugas, satu untuk memasuki areal wisata gajah, satu lagi untuk makan malam.

Pemandangan pertama yang menyambut kedatangan kita adalah kerangka tulang gajah yang disusun membentuk tubuh gajah dalam ukuran sebenarnya. Ruang lobi tempat berdirinya gajah itu dihiasi dengan banyak gambar dan ilustrasi penemuan gajah dalam banyak bingkai yang nyaris menutupi dinding ruangan.
Di sebelah kanannya, terdapat sebuah ruang edukasi gajah dan mini museum gajah, berisi ornamen, artefak, dan pernak-pernik yang menggambarkan kekuatan gajah di banyak negara. Di bagian tengah museum berdiri tegak kerangka tulang mamut (mammoth), genus gajah purba yang ukuran badannya lebih besar dari gajah normal yang kita kenal.
Replika mamut (gajah zaman purba) sebesar itu hanya ada dua di dunia: Di New York dan di Bali.
Nyoman Maharani yang memandu saya berkeliling museum menjelaskan, kerangka gajah yang sebelumnya saya lihat disusun dengan tulang-tulang gajah asli. Sedangkan kerangka tulang mamut (gajah zaman purba) yang ada di museum tidak asli. “Tapi gadingnya itu asli, Mas. Kita datangkan kerangka ini langsung dari New York,” jelas Nyoman, sambil menambahkan, replika mamut seperti itu hanya ada dua buah di dunia, satu di New York, satu lagi di Bali.
Puas foto-foto di ruang edukasi dan mendapatkan penjelasan seputar gajah, termasuk beda antara gajah Sumatera dan gajah Afrika, saya memulai tur di dalam taman gajah.
Anda jangan bayangkan datang ke sini seperti berada di kebun binatang atau taman safari. Konsep yang disuguhkan oleh Elephant Safari Park & Lodge untuk para pengunjung benar-benar membawa kita hidup bersama gajah.
Apalagi kalau Anda ke sini sebagai tamu hotel yang berada satu komplek dengan taman gajah. Anda akan berkesempatan dijemput gajah dari kamar ke tempat sarapan pagi yang berada di areal hotel. Tapi berhubung saya belum sempat menikmati hotel yang salah satu layanannya mengatur kegiatan tamu dari jam ke jam, nuansa hotelnya mudah-mudahan bisa saya deskripsikan lain waktu.
Elephant Safari Park memiliki 32 ekor gajah yang didatangkan langsung dari beberapa daerah di Sumatera. Nyoman menjelaskan, pihaknya mulai mengembangbiakkan gajah-gajah tersebut dan saat ini ada empat ekor bayi gajah yang baru lahir.
Tapi hanya dua puluhan gajah yang dikeluarkan untuk menyambut dan melayani para tamu. Begitu masuk ke areal taman, sejauh mata memandang, terlihat banyak gajah yang beraktifitas tak jauh dari ‘rumah’ mereka masing-masing. Setiap gajah memiliki zona berbentuk lingkaran tanpa sekat. Selebihnya adalah hamparan rumput dan pohon-pohon berukuran sedang.
Taman itu terlihat luas dan terbuka. Di bagian pinggirnya terdapat lintasan untuk menikmati sensasi berkeliling taman dari punggung gajah. Di situ juga ada kandang gajah, danau yang cukup besar dan tempat atraksi gajah yang tidak begitu luas, namun disusun sedemikian rupa sehingga penonton dapat menikmati pertunjukan dari tempat yang strategis.
Wisata Bareng Gajah
Interaksi pertama saya dengan gajah adalah memberikan potongan-potongan kecil tebu ke gajah berusia tiga tahun. Gajah ini saya perhatikan cukup narsis dan bawaannya pengen terus eksis. Matanya indah dan selalu memancarkan aura ceria.
Persis seperti yang diceritakan Direktur Sales & Marketing Arifin Tirta Wijata, saat kami makan siang bersama, sebelum acara rafting dan wisata gajah dimulai. “Kalau ada yang selfie atau mau memotret, dia pasti bergaya,” kata Arifin.
Setelah memberi makan gajah, pemandu meminta saya berbalik arah, dan Hidayat yang ikut mengantar dan menemani saya di Elephant Safari Park bersiap di depan sana mengabadikan interaksi berikutnya. Si gajah tadi lalu beraksi mengalungkan karangan bunga ke saya, dan karena hasil foto-foto pertama kurang memuaskan, saya minta dikalungin bunga lagi—untuk kedua kalinya. Dasar narsis akuttt!! 😀
Seperti saya ceritakan di atas, semula di tempat ini saya akan menikmati makan malam. Bu Ketut bercerita, sebelum saya tiba di lokasi, pihaknya sudah dua kali menggelar meja makan persis di tempat saya mendapat kalungan bunga dari gajah. “Tapi tadi hujan terus, jadi kita batalin, daripada nanti kehujanan,” tuturnya.
Dari situ, kita beranjak ke kandang gajah yang sedang merawat bayinya yang baru berusia beberapa bulan. Saya kemudian mendapatkan kesempatan untuk memberi makan si bayi dengan potongan-potongan kecil ubi. Sepasang turis asing saya perhatikan sangat menikmati sesi menyuapi bayi gajah ini.

Acara berikutnya adalah naik gajah di malam hari. Gajah yang saya tunggangi bernama Puspa yang dipawangi oleh Dedi. Trek yang saya lalui, demikian Dedi, adalah lintasan yang lebih pendek dibanding lintasan di pagi hari.
Tapi pengalaman naik gajah di malam hari itu benar-benar berkesan. Beberapa tempat yang saya lalui sengaja dibuat gelap-gulita. Suara jangkrik dan binatang malam melengkapi pengalaman safari di atas punggung gajah selama sekitar 30 menit itu
Mencicipi eOAsia
Kunjungan saya ke obyek wisata di Ubud minggu lalu terhitung dadakan dan tidak terduga. Ceritanya, saya diminta menjadi pemateri Seminar Pers dan Jurnalistik di almamater Pondok Modern Gontor, Senin (11/1). Setelah jadwal pasti didapat, Edwina Sunario, Partnerships Marketing Manager Eoasia, mengajak ketemuan untuk membicarakan rencana eksplorasi tempat-tempat wisata di Asia bersama eoasia.com.
“Mumpung di Bali, mungkin Mas Isjet mau mencoba aktivitas ini,” tulis Edwina, sambil menyertakan tautan ke salah satu aktifitas di eoasia.com. Setelah saya klik, di halaman itu tertulis rinci aktifitas wisata yang ditawarkan, mulai dari rafting sampai naik gajah.
Wah, seru juga nih, kata saya dalam hati. Mengarungi sungai sore-sore, dilanjutkan dengan wisata safari malam dengan tema gajah!
Sulit rasanya menolak tawaran Edwina.
Paket aktifitas wisata yang ditawarkan pada tautan tersebut terdiri atas beberapa kegiatan yang semuanya berada dalam satu kawasan di Ubud. Pengelolanya adalah Bali Adventure Tours yang, seperti diceritakan Arifin Tirta Wijata, memiliki semua properti dan fasilitas wisata yang ditawarkan ke para turis. “Semuanya kami punya. Kita tidak menawarkan paket wisata milik orang lain,” tutur Arifin.
Di situ ada wahana arung jeram (White Water Rafting), perahu kayak, naik sepeda gunung, hiking, trekking sampai fasilitas spa tersedia di sana. Bali Adventure Tours juga punya wisata helikopter yang siap membawa turis menikmati keindahan Ubud dari udara.
Jujur, ini kali pertama saya mengenal eOasia (www.eoasia.com), tempat pemesanan online aktifitas wisata Asia yang menyediakan lebih dari 2000 aktifitas wisata di 50 destinasi Asia yang unik dan berkualitas. Aktifitas-aktifitas yang ditawarkan tersebut sebelumnya dikurasi terlebih dahulu sesuai standar kenyamanan dan pengalaman tertentu.
Paket dan harga yang ditawarkan dipaparkan dengan rinci, lengkap dengan gambaran itinerary yang akan dijalani oleh wisatawan. eOasia juga menyediakan pemandu wisata untuk memudahkan wisatawan dalam memilih maupun melakoni kegiatan yang diinginkan.