Ramadhan, Aku Malu…

Ramadhan, kau datang lagi. Setahun lebih tak bertemu, seakan yang dulu baru seminggu berlalu.

Ramadhan, aku malu. Terakhir melepasmu, aku tidak lulus ujianmu.

Semua yang kau beri, ku lewatkan tanpa hasil gemilang. Puasaku ala kadarnya. Ibadahku biasa-biasa saja. Dosa-dosaku pun tak berkurang dari bulan-bulan sebelumnya.

Tahun lalu, tak ada prestasi yang aku raih. Bahkan aku terlalu malu untuk sekedar melihat nilai rapor darimu, untuk ujian setahun lalu. Hasilnya sedemikian melekat dalam ingat.

Hari pertama ku bersamamu begitu menggelora. Ku kerjakan banyak ibadah. Ku baca al Quran sampai terasa kering air ludah, sampai terasa letih nafas di dada. Ku kerjakan shalat Dhuha dan Tahajjud. Ku gelar sejadah untuk dua rakat sunnah, setelah dan sebelum shalat wajib berjamaah. Ku datangi masjid manapun yang dapat ku datangi.

Sambil bekerja, ku berusaha maksimal mendekatkan diri kepada Mu, Ya Allah. Ku kerjakan semua ibadah sampai sahur berikutnya tiba.

Tapi kinerja ibadahku di hari-hari berikutnya tak lagi sebaik hari sebelumnya. Konstan pun tidak. Sama pun tidak. Hari demi hari, semakin menunjukkan penurunan. Jumlah ibadah yang ku kerjakan berkurang. Bobot kekhusyuan dan keikhlasanku terjun bebas.

Aku masih lebih sering terpenjara kesibukan mencari nafkah. Aku masih disibukkan menyusun alasan untuk tidak beribadah seperti hari sebelumnya. Aku masih egois. Aku masih riya. Aku masih belum cukup yakin pada ganjaran pahala berlipat-lipat untuk setiap ibadah di bulan Ramadhan.

Dan saat minggu terakhir tiba, aku bahkan tak lagi membaca ayat-ayat suci-Nya. Tak lagi shalat Dhuha dan Tahajjud. Tak lagi shalat qobliyah dan ba’diyah. Tak lagi memusingkan kapan Malam 1000 Bulan tiba.

Lalu tiba-tiba, yang aku ingat dari ujung kebersamaanku bersamamu, wahai Ramadhan, hanya jajaran barcode pakaian baru yang ku beli sekian potong untuk keluarga. Hanya toples-toples makanan yang ku susun di atas meja tamu. Hanya daun-daun ketupat yang berserakan di ruang dapur dan aku kesulitan membuangnya ke tempat sampah!

Puasaku memang tak pernah kalah. Sahur dan waktu berbukaku selalu terjaga. Tapi itu saja tak cukup untuk membuat raporku biru semua. Aku tahu itu. Aku sungguh malu karena itu.

Belum lagi hati ini masih terlalu sulit dikurung dari hawa nafsu. Amarahku belum terkendali, perasaan curiga dan rasa dengki kepada orang lain masih meracuni. Dosa-dosa lain pun masih aku puaskan sepanjang malam.

Bodohnya diri. Bagaimana ini terjadi, sementara di siang hari puasaku tak pernah henti.

Lalu suara takbir menggema. Lalu aku kembali menjadi manusia dalam keburukannya seperti biasa.

Dan esok kau datang lagi. Aku harus menjalani ujian itu lagi. Untuk kesekian kali.

Aku ingin bertekad. Aku tak mau malu lagi. Saat setahun berikutnya Dia mempertemukanku lagi. Denganmu, Ramadhanku.

Pembaca lain juga membaca ini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.