Melihat dari Dekat Ujian Lisan dan Tulisan di Gontor

Saat ini, Pondok Modern Darussalam Gontor sedang melaksanakan ujian secara serempak di semua pondok cabangnya. Baik cabang putra maupun cabang putri. Ujian di pesantren berusia 93 tahun ini dilaksanakan dengan caranya sendiri. Dengan prinsip ‘ujian untuk belajar’, bukan ‘belajar untuk ujian’.

Selama enam tahun belajar di sini, santri menghadapi ujian yang dirancang dan dilaksanakan oleh Gontor. Tanpa intervensi apalagi interupsi dari pihak luar. Termasuk dari Kementerian Pendidikan ataupun Kementerian Agama yang menaungi masalah pendidikan negeri ini.

Salah satu ukurannya: Santri di Gontor tidak pernah sekalipun mengerjakan lembar Ujian Negara yang dibuat oleh pemerintah.

Lantas bagaimana sebenarnya pelaksanaan ujian di Gontor? Apa sih istimewanya? Ini dia gambaran serunya.

Ujian di Gontor diadakan dalam rentang waktu yang cukup lama, yaitu satu bulan penuh. Selama sebulan musim ujian, para santri mengikuti dua jenis ujian, yaitu ujian lisan (syafahi)  selama sepuluh hari, dilanjutkan dengan ujian tulis (tahriri) selama 11 hari berikutnya.

Lamanya waktu ujian mengkondisikan setiap santri berada dalam suasana belajar yang sangat intens. Di Gontor, ujian adalah momen yang paling krusial. Sebulan sebelumnya, pihak pondok mempublikasikan hitung mundur menuju musim ujian di papan tulis yang diletakkan di bawah masjid.

Saat tiba waktunya, santri akan mulai diuji. Dimulai dengan ujian lisan. Diakhiri dengan ujian tulisan.

Ujian Lisan

Ujian lisan diadakan dalam rangka memupuk kepercayaan diri dan kematangan dalam penguasaan materi pelajaran. Tidak semua pelajaran diujikan secara lisan. Ujian lisan hanya meliputi tiga kelompok pelajaran, yaitu Bahasa Arab, Bahasa Inggris dan Al Quran.

Materi Bahasa Arab terdiri atas pelajaran Muthola’ah (bacaan), Mahfudzat (hafalan), Nahwu, Sharf, dan Balaghah.

Materi ujian Bahasa Inggris meliputi reading (bacaan), conversation (percakapan), translation (terjemahan), vocabulary (kosakata), dictation (dikte), dan grammar (tata bahasa).

Sedangkan materi yang diujikan di kelompok Al Quran meliputi tilawah (bacaan), hafalan (Juz Amma, zikir dan doa), pelajaran Tajwid, serta Fiqh.

Selama ujian lisan berlangsung, ruang-ruang kelas disulap menjadi tempat wawancara dengan dua baris meja saling berhadap-hadapan. Satu orang santri ‘dikeroyok’ oleh tiga sampai empat orang penguji dari kalangan guru dan santri kelas akhir.

Setiap pagi, para penguji dari kelas 6 wajib menyiapkan ruangan. Sebersih dan seindah mungkin. Mereka juga harus membuat i’dat atau persiapan materi ujian berisi rangkaian pertanyaan yang akan diajukan ke santri. Setiap hari, sedikitnya ada 10 santri yang diuji di satu ruangan.

Ujian digelar dari pagi hingga siang hari. Para santri stand by di depan kelas sambil mengulangi pelajaran. Mereka mempersiapkan diri mati-matian agar bisa menjawab apapun pertanyaan yang mungkin keluar dari mulut para penguji.

Ada yang membuat simulasi tanya-jawab dengan temannya, ada yang mencoba menggali informasi dari orang yang baru keluar dari ruang ujian. Untuk trik terakhir, tidak selamanya berhasil, karena penguji punya banyak stok pertanyaan, sehingga antara murid A dan murid B belum tentu mendapatkan pertanyaan yang sama dari tim penguji.

Lamanya durasi per santri sangat tergantung pada penguji dan orang yang diuji. Biasanya, semakin tepat jawaban yang diberikan, semakin banyak pertanyaan yang keluar dari mulut penguji.

Itu artinya si santri sedang diuji batas kepintarannya, sampai dia merasa bahwa dirinya tidak sepintar yang dibayangkan.

Metode tersebut diterapkan untuk mengontrol ego santri agar tidak menjadi gelas penuh yang sulit diisi dengan ilmu karena merasa sudah pintar.

Ujian Tulis

Dua hari berselang, ujian tulisan dilaksanakan secara serempak. Inilah ujian paling ketat yang pernah ada. Yang menihilkan upaya nyontek apalagi membawa bocoran jawaban ke dalam ruang ujian.

Kelas-kelas berubah formasi. Meja-meja diatur terbalik: posisi laci menghadap ke depan, sehingga tidak ada ruang buat santri untuk menyembunyikan sesuatu di dalam laci.

Setiap ruangan diawasi oleh 3-5 orang pengawas, terdiri dari guru dan santri kelas enam. Mereka berkeliling memperhatikan gerak-gerik santri selama ujian berlangsung. Sewaktu-waktu, panitia dan guru senior akan berkeliling mengecek kerja para pengawas.

Posisi santri juga diatur sedemikian rupa, sehingga setiap peserta ujian tidak duduk berdekatan dengan teman sekelasnya. Orang yang duduk di samping kanan-kiri, depan dan belakangnya, berasal dari kelas yang berbeda (lihat ilustrasi di bawah).

13667192582043992246

Satu ruangan diisi oleh 20-30 santri dari beberapa kelas yang berbeda. Sebelum memasuki ruangan, semua buku dan catatan harus diletakkan di luar. Hanya alat tulis yang boleh masuk ruangan.

Kalau sampai ada santri yang ketahuan nyontek, langsung dikembalikan ke orang tuanya selama satu tahun alias di-skors! Jadi percuma saja nyontek, karena risikonya adalah mengulang kelas di tahun berikutnya.

Setiap hari, ada 2-3 mata pelajaran yang diuji dengan durasi 90 menit untuk masing-masing pelajaran. Ujian di pondok tidak mengenal pilihan ganda sehingga strategi hitung kancing tidak berlaku di sini. Semua pertanyaan harus dijawab dalam bentuk esai.

Soal dibuat oleh salah seorang guru yang penunjukannya dilakukan secara rahasia.

Setiap santri menerima lembar soal dan lembar jawaban berbentuk kertas buram polos ukuran HVS. Di ujung atas kertas jawaban terdapat secarik kertas kecil berisi nomor induk santri dan nomor ujian. Santri dilarang menyantumkan nama di dalam lembar jawaban

Kalau mau menambah kertas jawaban, tinggal angkat tangan, bisa minta sepuasnya. Beberapa pelajaran memang membutuhkan paparan panjang sehingga satu lembar sangat tidak cukup untuk menampung jawaban. Panitia juga menyediakan lem kertas yang dibuat massal dari tepung kanji.

Setelah jawaban dikumpulkan, petugas akan memberikan nomor pada lembar jawaban dan lembar kecil berisi identitas tadi. Guru pemeriksa hanya akan menerima lembar jawaban, sehingga dia tidak tahu pemiliknya sama sekali. Ini diterapkan untuk menghindari kolusi dan nepotisme antara guru dan muridnya.

Bisa Anda bayangkan bagaimana kerja keras para guru dalam memeriksa lembar jawaban, karena tidak ada soal yang jawabannya hanya A, B, C atau D.

Juga tidak ada soal yang jawabannya singkat, misalnya sekedar menuliskan angka tertentu seperti yang mulai diterapkan pemerintah di pelajaran matematika Ujian Nasional 2018.

Pembaca lain juga membaca ini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.